Jakarta - Rencana pembangunan konstruksi melayang (elevated) Mass Rapid Transit (MRT) tahap I Jakarta dipertanyakan. Konstruksi layang MRT dari Lebak Bulus ke Sisingamangaraja dinilai banyak efek negatifnya daripada imbas positifnya.
Demikian disampaikan pengamat transportasi Darmaningtyas dalam tulisannya di Institut Studi Transportasi (instran.org) dikutip Jumat (19/10/2012)
Menurutnya warga Lebak Bulus hingga Sisingamangaraja, Jakarta sejak awal tahun 012 menolak keberadaan desain MRT secara Layang. Meskipun ia mengakui secara biaya konstruksi akan lebih murah dibangun elevated daripada membuat terowongan.
Ia berharap MRT Jakarta murni dibangun seluruhnya dengan pola subway alias seluruhanya di bawah tanah (subway). Apalagi saat ini ramai kabar gubernur/wagub yang baru ingin mengkaji ulang proyek MRT.
"Pilihan desain yang ada unsur layang disebabkan oleh pertimbangan pembiayaannya yang lebih murah. Biaya yang lebih murah implikasinya pada tarif yang lebih murah pula. Sungguh sesederhana itukah pertimbangannya? Bila dasarnya hanya sekedar murah itu, maka jelas ini amat naif, karena tidak memperhitungkan dampak buruknya, termasuk terhadap perekonomian di kawasan Jakarta Selatan," kata Darmaningtyas.
Menurutnya ada tiga dampak buruk dari MRT layang dari Lebak Bulus ke Sisingamangaraja, antaralain:
Pertama, akan menimbulkan kemacetan baru di sepanjang jalan di bawah rel kereta api. Median jalan itu akan diambil untuk naruh tiang-tiang rel dan stasiun. Akses keluar-masuk ke gang-gang di sepanjang jalan Fatmawati – Sisingamangaraja pasti akan terganggu. Apalagi sampai sekarang juga belum jelas analisis dampak lalu lintasnya baik selama maupun setelah pembangunan selesai.
Kedua, akan mematikan bisnis di kawasan Fatmawati yang sudah mulai hidup sejak 20 tahun terakhir. Jangan lupa, untuk memulai bisnis di kawasan itu adalah pengorbanan individu per individu dengan memulai usaha bisnis pada saat kawasan tersebut masih sepi, bukan karena usaha Pemerintah Pusat/Pemprov DKI Jakarta sengaja membuka kawasan bisnis di sana.
Kawasan bisnis di Fatmawati itu sekarang telah mampu memecah beban pergerakan ke arah kota sekedar untuk belanja barang-barang elektronik atau karpet. Dengan adanya kawasan bisnis yang tumbuh subur di sepanjang Jalan Fatmawati itu secara otomatis dapat mengurangi beban pergerakan ke arah kota.
Bila kawasan bisnis sampai hancur karena pembangunan MRT, maka pembangunan MRT sesungguhnya hanya melahirkan persoalan baru, karena akan mendorong orang-orang dari kawasan Jakarta Selatan harus pergi ke Kota (Glodok) lagi sekedar untuk belanja barang-barang elektronik dan sejenisnya. Akhirnya, akan lebih banyak kendaraan pribadi mengarah ke Kota. Mubazirlah pembangunan MRT tersebut karena justru melahirkan kemacetan baru.
Ketiga, menciptakan kekumuhan baru di sepanjang bawah rel MRT. Kekawatiran ini wajar mengingat sudah banyak bukti yang dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Kebetulan belum ada bukti di mana ada kondisi bawah jembatan layang maupun rel kereta api listrik di Jakarta ini rapi, bersih, dan tertib. Yang ada justru kekumuhan baru karena menjadi tempat tinggal gelandangan.
"Jelas bahwa secara matematis, biaya pembuatan subway lebih mahal daripada MRT Layang, tapi kemahalannya itu hanya pada kontruksi, karena setelah operasional, usaha bisnis di sepanjang Fatmawati akan tetap hidup sehingga dapat mengurangi beban traffic ke arah Kota, tidak menimbulkan angka pengangguran baru, dan juga tetap berkontribusi pada pertumbuhan perekonomian di Jakarta Selatan," katanya.
Menurutnya pembangunan MRT secara melayang memang murah namun hanya dalam konteks konstruksi saja, namun amat mahal biaya ekonomi dan sosial yang harus dibayar oleh masyarakat seumur hidup.
"Kalau subway, lebih mahal investasinya dan tarifnya, tapi dalam jangka tertentu investasi tersebut akan balik dan tarif bisa ditekan dengan mengembangkan properti di sekitar stasiun subway," katanya.
Seperti diketahui MRT Jakarta yang berbasis rel rencananya akan membentang kurang lebih ± 110,8 Km, meliputi dua koridor utama, yaitu koridor selatan-utara yang jadi prioritas.Sementara itu koridor timur-barat masih tahap kajian, dari timur Jakarta-Balaraja.
Untuk koridor Selatan-Utara (Koridor Lebak Bulus-Kampung Bandan) sepanjang kurang lebih ± 23, 8 km. Koridor Lebak Bulus-Kampung Bandan dilakukan dalam 2 tahap:
Tahap I yang akan dibangun terlebih dahulu menghubungkan Lebak Bulus sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15,7 km dengan 13 stasiun, antaralain sebanyak 7 stasiun layang dan 6 stasiun bawah tanah ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016.
Sebanyak 7 stasiun sepanjang 7 Km berada di atas (elevated/layang) yaitu stasiun Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete, Haji Nawi, Blok A, Blok M dan Sisingamangaraja. ementara itu 6 stasiun sepanjang 6 Km berada di bawah tanah yaitu Bundaran Senayan, Istora, Benhil, Setiabudi, Dukuh Atas, Bundaran HI.
Untuk tahap II koridor utara-selatan, rencananya stasiun-stasiunnya semuanya di bawah tanah antara lain Kebon Sirih, Monas, Harmoni, Glodok, Kota dan Kampung Bandan. MRT Tahap II utara-selatan dari Bundaran HI ke Kampung Bandan sepanjang 8,1 Km yang akan mulai dibangun sebelum tahap I beroperasi dan ditargetkan beroperasi 2018 dipercepat dari 2020.
Payung hukum soal proyek MRT antaralain Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pendirian PT MRT Jakarta dan Perda Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penyertaan Modal ke PT MRT Jakarta. Dalam aturan itu operator MRT adalah PT MRT Jakarta yang berfungsi sebagai pihak yang membangun, mengoperasikan, dan memelihara MRT.
Selain itu ada Perda No.4 Tahun 2008 mengatur penggunaan permodalan yang dipinjamkan JICA, yaitu menerima setoran modal dari Pemprov DKI sebesar 42% dari total pinjaman dari JICA, dan pinjaman pemerintah pusat 58% dari total pinjaman yang diteruskan ke Pemprov DKI lalu oleh Pemprov DKI ke PT MRT.
Total dana yang dibutuhkan untuk proyek MRT tahap I sebesar Rp 15 triliun. Dana pinjaman itu harus dikembalikan dengan bunga 0,2% dan 0,4% dengan jangka waktu pengembalian 30 tahun plus 10 tahun.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar